Jumat, 22 Februari 2013

Ilmu Pragmatik


HAKIKAT DAN SEJARAH LAHIRNYA PRAGMATIK
oleh Noermanzah (Dosen STKIP PGRI Lubuklinggau Sumatera Selatan)

A. Hakikat Pragmatik
       Parker (1986:11) mengemukakan pragmatik sebagai salah satu cabang ilmu bahasa yang mempelajari bahasa secara eksternal atau berdasarkan makna konteks. Berikut penjelasan yang diutarakan oleh Parker.
“Pragmatics is distinct from grammer, which is the study of the internal structure or language. Pragmatics is the study of how language is used to communicate”.

      Dari kutipan yang dikemukakan Parker tersebut dapat dijelaskan bahwa kajian pragmatik berbeda dari kajian tata bahasa yang mengkaji tentang struktur internal bahasa, tetapi pragmatik merupakan ilmu bahasa yang mengkaji tentang bagaimana bahasa digunakan untuk berkomunikasi. Kata kunci menurut Parker terletak dari makna yaitu bahasa yang digunakan dalam situasi berkomunikasi. Situasi berkomunikasi yang dimaksud adalah konteks ketika sebuah ujaran digunakan mempengaruhi makna dari ujaran tersebut. Hal yang senada diutarakan oleh Wijaya dan Rohmadi (2011:5), pragmatik merupakan kajian yang menelaah makna wacana ditinjau dari segi konteks. Maksud konteks berhubungan dengan situasi kalimat yang dimaksud terjadi. Misalnya, makna tangan panjang dan baik bila digunakan pada kalimat dengan konteks yang berbeda akan memiliki makna yang berbeda juga, seperti pada kalimat (1), (2), dan (3) berikut.
(1)  Pak Nurman memiliki tangan panjang yang mampu menggapai buah mangga milik mertuanya.
(2)  Pak Zico terkenal baik di Desa Plangkian sejak diberhentikan dari Pekerjaannya sebagai akuntan di Bank Bengkulu.
          Dari data (1) kata tangan panjang secara internal maknanya menunjukkan “tangan yang berbentuk panjang”. Kata baik pada data (2) secara internal bermakna “sifat yang bagus atau santun”. Akan tetapi, secara eksternal bila dilihat dari penggunannya, kata tangan panjang tidak selalu bermakna “tangan yang berbentuk panjang”. Begitu juga kata baik tidak selalu bermakna “sifat yang bagus atau santun”. Hal ini dapat kita lihat dalam kutipan dialog berikut.
(3)  Pak Nurman          : Sepertinya tetangga kita itu, terkenal tangan panjang di
                                desa kita ya Bunda?
Bunda Resa           : Ah, Ayah! Jangan sembarangan kalau bicara. Dia kan
                                tetangga lama kita.
Pak Nurman          : Memang baik sekali pak Samitra! Bayangkan saja Ibu
                                Mertuanya saja kemarin diusir dari rumahnya, hanya gara-
                                gara mau pamit pergi ke pasar loh, bunda.  
            Dari dialog (3) tersebut secara eksternal kata panjang tangan memiliki makna “pencuri” bukan orang yang memiliki tangan yang berbentuk panjang. Kemudian, untuk kata baik secara eksternal memiliki makna “kurang baik atau sifat yang buruk” bukan bermakna “sifat baik atau santun”. Dengan demikian, suatu kata bila ditinjau secara pragmatik, suatu kata, frase, klausa, dan kalimat akan mengalami perubahan makna bila konteks pembicaraan dalam komunikasi berbeda. Dengan kata lain, makna yang dikaji dalam pragmatik merupakan makna yang terikat konteks, berbeda halnya dengan semantik yang mengkaji makna yang bebas dengan konteks.
            Kajian pagmatik juga diutarakan oleh Leech (1983:13) sebagai salah satu bagian dari ilmu bahasa yang menelaah penggunaan bahasa yang berintegrasi dengan fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Dari pendapat Leech ini, kajian pragmatik bekerja mengkaji suatu penggunaan bahasa yang tidak bisa terlepas dari unsur fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik.
            Dari beberapa pendapat ahli bahasa tersebut, dapat disimpulkan bahwa pragmatik merupakan salah satu cabang ilmu bahasa yang mengkaji makna suatu bahasa ditinjau dari penggunaan bahasa dalam berkomunikasi atau terkait dengan konteks (eksternal) ketika bahasa digunakan dalam berkomunikasi.    
             
B. Sejarah Lahirnya Pragmatik
       Bahasa sebagai sesuatu yang bersifat abstrak dan manasuka sulit untuk diterjemahkan. Begitupun kaum strukturalis mengalami hambatan dalam memaknai bahasa ketika dihadapkan pada suatu konteks. Pada tahun-tahun sebelumnya, khususnya tahun 1930-an, linguisitk menurut kaum struktural dianggap hanya mencakup fonetik, morfologi, dan fonemik. Kemudian, pada era Bloomfield, kajian sintaksis dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan makna dikesampingkan dalam pencaturan linguistik karena dianggap terlampau sulit untuk diteliti dan dalam proses analisis.
      Pada tahun 1950-an dengan berkembangnya teori linguistik Chomsky, sintaksis telah mendapatkan tempat dalam linguistik. Dalam teorinya, linguistik yang berlatar belakang filsafat mentalis ini menegaskan bahwa sintaksis merupakan bagian dari linguistik yang bersifat sentral. Gagasan kesentralan sintaksis itu kemudian mendatangkan pradigma baru dalam dunia linguistik. Sekalipun linguistik Chomsky dianggap lebih maju disbanding era linguistik sebelumnya, bagi tokoh ini masalah makna masih dianggap sulit untuk dianalisis.
       Pada awal tahun 1970-an, para linguis yang bernuansa transformasi generatif seperti Ross dan Lokoff, menyatakan bahwa kajian sintaksis itu tidak bisa memisahkan diri dengan konteksnya. Sejak saat itu pula lahir sosok baru dalam dunia linguistik yang disebut prgmatik, khususnya untuk linguistik yang berkembang dibelahan bumi Amerika. Dapat dikatakan bahw dengan munculnya tokoh-tokoh itu telah menandai telah runtuhnya hipotesis tentang teori-teori bahasa yang telah berkembang diera-era sebelumnya.
       Istilah pragmatik sebenarnya sudah mulai dikenal sejak masa hidupnya seorang filusufi terkenal bernama Charles Morris. Dalam memunculkan istilah pragmatic, Morris mendasarkan pemikirannya berdasarkan gagasan filusufi-filusufi pendahulunya seperti Charles Shanders Phierce, dan John Lokey yang banyak menggeluti ilmu tanda dan ilmu lambang semasa hidupnya yang biasa dinamai semiotika (semiotics). Dengan berdasarkan pada gagasan filusufi itu, Morris membagi ilmu tanda dan ilmu lambang ke dalam tiga bagian yakni sintaktika (sintaktics) yakni ilmu tentang relasi formal tanda-tanda, semantika (semantics) yakni studi relasi tentang tanda-tanda dengan objeknya, dan pragmatika (pragmatics) yakni studi relasi tentang tanda-tanda dengan penafsirnya. Berawal dari filusufi ternama inilah pragmatik terlahir dan bertengger dalam dunia linguistik.
      Linguistik yang lazimnya disebut sebagai ilmu yang mengkaji seluk-beluk bahasa keseharian manusia, memiliki beberapa cabang. Cabang-cabang tersebut secara linguistik dapat diurutkan: fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan pragmatik. Dari urutan cabang-cabang linguistik itu, tampak bahwa pragmatik merupakan ilmu linguistik yang paling baru.
       Verhar (1996) menyebutkan bahwa lazimnya fonologi dibicarakan berdampingan dengan fonetik. Sebab keduanya sama-sama meneliti bunyi bahasa. Fonetik meneliti bunyi bahasa berdasarkan pelafalannya dan sifat akustiknya. Sedangkan fonologi meneliti bunyi bahasa berdasarkan fungsinya. Morfologi dikatakan sebagai ilmu yang mempelajari struktur internal kata, sintaksis mempelajari susunan kata dalam kalimat, semantik mempelajari perihal makna. Sementara itu, pragmatik mempelajari apa saja yang termasuk struktur bahasa sebagai alat komunikasi antara penutur dan mitra tutur serta sebagai pengacuan tanda-tanda bahasa yang sifatnya ekstralinguistik.
      Berdasarkan latar belakang perkembangan pragmatik dapat disimpulkan bahwa kehadiran pragmatik disebabkan kerena adanya ketidakpuasan terhadap analisis bahasa yang hanya menekankan pada unsusr-unsur formal bahasa saja atau bagian struktur internal. Bahasa dipandang sebagai perwakilan atau perwujudan dari simbol-simbol bahasa. Sementara itu, perwujudan atau simbol-simbol bahasa hadir apabila ada sesuatu yang mendasarinya yang berupa unsur-unsur non kebahasaan. Para penganut strukturalis dalam menganalisis bahasa hanya menekankan pada struktur formal bahasa. Bahasa (kalimat) hanya dikatakan lengkap apabila memuat unsur pembentuknya dalam hal ini subjek (S) dan predikat (P) yang hanya ditandai dari segi aktif, pasif, transitif, intransitif, semitransitif. Sementara itu unsur-unsur yang menyertai kehadiran sebuah kalimat terkadang diabaikan. Para penganut pragmatik berpandangan bahwa bahasa sellu hadir bersamaan dengan konteks. Baik konteks lingual maupun ekstra lingual. Dalam analisis pragmatik, kajian bahasa tidak bias dilakukan tanpa mempertimbangkan kontekks situasi yang meliputi penutur dan mitra tutur, situasi, tujuan pembicaraan, serta dampak atau bentuk-bentuk perubahan yang ditimbulkan akibat tindakan tersebut.
        Bagi pembaca yang ingin melihat kajian yang ada dalam ilmu pragmatik dapat mengunduhnya pada bagian berikut.  Unduh Silabus

Referensi

  1. Buku “Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia” Karya R. Kunjana Rahardi  (2005) Penerbit Erlangga, Jakarta.
  2. Buku “Pragmatik” Karya Louise Cummings (2007) Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta.  
  3. Buku “Pragmatik dan Penelitian Pragmatik” Karya F. X Nadar (2008). Graha Ilmu. Yogyakarta.
  4. Buku “ Pengajaran Pragmatik” Karya Henry Guntur Tarigan (2009). Angkasa Bandung, Bandung.
  5. Buku “Analisis Wacana Pragmatik: Kajian Teori dan Analisis” I Dewa Putu Wijaya dan M. Rohmadi (2011) Penerbit Yuma Pustaka, Surakarta.